Halaman

Minggu, 07 April 2013

PERILAKU TIDAK ETIS DALAM PRAKTEK ADMINISTRASI PUBLIK


Latar Belakang
Etika administrasi negara merupakan salah satu wujud kontrol terhadap administrasi negara dalam melaksanakan apa yang menjadi tugas pokok, fungsi dan kewenangannya. Manakala administrasi negara menginginkan sikap, tindakan dan perilakunya dikatakan baik, maka dalam menjalankan tugas pokok, fungsi dan kewenangannya harus menyandarkan pada etika administrasi negara. Etika administrasi negara disamping digunakan sebagai pedoman, acuan, referensi administrasi negara dapat pula digunakan sebagai standar untuk menentukan sikap, perilaku, dan kebijakannya dapat dikatakan baik atau buruk.
Law enforcement sangat membutuhkan adanya akuntabilitas dari birokrasi dan manajemen pemerintahan sehingga penyimpangan yang akan dilakukan oleh birokrat-birokrat dapat terlihat dan ter-akuntable dengan jelas sehingga akan memudahakan law enforcement yang baik pada reinventing government dalam upaya menata ulang manajemen pemerintahan Indonesia yang sehat dan berlandaskan pada prinsip-prinsip good governance dan berasaskan nilai-nilai etika administrasi.
Selanjutnya Darwin (1999) juga mengartikan Etika Birokrasi (Administrasi Negara) adalah sebagai seperangkat nilai yang menjadi acuan atau penuntun bagi tindakan manusia dalam organisasi. Dengan mengacu kedua pendapat ini, maka etika mempunyai dua fungsi, yaitu pertama sebagai pedoman, acuan, referensi bagi administrasi negara (birokrasi publik) dalam menjalankan tugas dan kewenangannya agar tindakannya dalam birokrasi sebagai standar penilaian apakah sifat, perilaku, dan tindakan birokrasi publik dinilai abik, buruk, tidak tercela, dan terpuji. Seperangkat nilai dalam etika birokrasi yang dapat digunakan sebagai acuan, referensi, penuntun, bagi birokrasi publik dalam menjalan tugas dan kewenangannya antara lain, efisiensi, membedakan milik pribadi dengan milik kantor, impersonal, merytal system,r esponsible, accountable, dan responsiveness.
Mal-Administrasi
Dalam era reformasi, banyak “mal pratik” pada tubuh birokrasi yang selama era orde baru terjadi diblejeti satu persatu oleh masyarakat, baik mal-praktek dalam bentuk “korupsi, kolusi, maupun nepotisme”.KKN merupakan tindakan yang menyimpang hukum dan biasanya pada kasus-kasus ini terdapat banyak penyimpangan serta penyelewengan pada law enforcement, hal ini sangat besar kemungkinan pada etika adaministrasi negara dalam revitalisasi manajemen pemerintahan dalam rangka upaya penataan ulang pemerintahan Indonesia yang tidak sesuai dengan good governance.
Sebenarnya apakah yang menjadi landasan dasar yang dapat menjadi aacuan, pedoman, dan referensi dalam melaksanakan manajemen pemerintahan yang baik dan sehat serta birokrasi yang sehat adalah etika administrasi yang memiliki acuan dan pedoman serta referensi, salah satu wujud konkrit yang tegas dalam menindaklanjuti mal administrasi seprti contoh yang sangat sering terjadi Korupsi, melalui Law enforcement maka semua penyelewengan akan mudah diminimalisir, Law enforcement akan mudah terdeteksi sangat berkaitan dengan adanya akuntabilitas birokrasi dan manajemen pemerintahan yang sedang malaksanakan revitalisasi yang memegang prinsip good governance guna mencapai reinventing government dan menata ulang manajemen pemrintahan indonesia kearah yang lebih sehat dan profesional.
Korupsi: Salah Satu Bentuk Mal-Administrasi
Jika orang mendengar istilah korupsi, biasanya yang tergambar ialah adanya seorang pejabat tinggi yang dengan rakus menggelapakan uag pajak, mengumpulkan komisi, atau menggunakan uang negara lainnnya untuk kepentingan pribadi. Korupsi sebagian besar dikaitkan dengan penggelapan sejumlah uang atau hal-hal yang bersifat material.
Korupsi dapat diartikan sebagai bentuk perbuatan menggunakan barang publik, bisa berupa uang dan jasa, untuk kepentingan memperkaya diri, dan bukan untuk kepentingan publik. Dilihat proses terjadinya perilaku korupsi ini dapat dibedakan ke dalam tiga bentuk, yaitu Graft, Bribery, dan nepotism.
Graft, merupakan korupsi yang bersifat internal. Artinya korupsi yang dilakukan tanpa melihat pihak ketiga. Seperti menggunakan atau atau mengambil barang kantor, uang kantor, jabatan kantor untk kepentingan diri sendiri. Korupsi ini terjadi karena mereka mempunyai kedudukan dan jabatan di kantor tersebut. Dengan wewenangnya, para bawahan tidak dapat menolak permintaan atasannya.
Sementara bribery (penyogokan, penyuapan), merupakan tindakan korupsi yang melibatkan orang lain diluar dirinya (instansinya). Karenanya korupsi ini sering disebut dengan korupsi yang bersifat eksternal. Artinya tindakan korupsi tadi tidak akan terjadi jika tidak ada orang lain, yang melakukan tindakan penyuapan, penyogokan terhadap dirinya. . Pelayanan yang diberikan seringkali dihambat, tidak lancar, bukan karena sistem dan prosedurnya, tapi karena disengaja oleh oknum birokrat. Sehingga mereka yang berkepentingan, lebih suka melalui calo, atau dengan cara memberi pelicin berupa uang untuk menyuap, menyogok, agar urusannya menjadi lancar.
Sedangkan nepotism, merupakan suatu tindakan korupsi berupa kecendrungan pengambilan keputusan yang tidak berdasarkan pada pertimbangan objektif, rasional, tapi didasarkan atas pertimbangan “nepitis”, “kekerabatan”, sepeti masih teman, keluarga, golongan, pejabat, dan lain sebagainya.
            Dalam menjalankan aktivitas-aktivitas administrative, sebagian aparat sering menarik uang ekstra dari layanan yang diberikan kepada seorang warga masyarakat untuk kepentingan pribadi. Istilah lainnya yang biasanya dihubungkan dengan korupsi adalah manipulasi.
            Fenomena korupsi yang pertama-tama dapat disebutkan, yang berskala kecil, tetapi sering terjadi di dalam manajemen public tingkat opersional ialah berkaitan dengan pengertian pungli. Ungkapan-ungkapan seperti salam tempel, tahu sama tahu (TST), uang semir, uang pelican, atau pelancar. Pada dasarnya fenomena korupsi prosedural terjadi karena adanya kesepakatan timbale-balik antara oknum petugas dengan pengguna jasa public untuk saling membebaskan diri dari perbuatan yang melanggar hukum dan tidak etis.mereka sepakat untuk menutup mata atau pura-pura tidak tahu terhadap aturan hukum yang berlaku. Seorang warga misalnya memberikan sejumlah uang dengan sukarela kepada petugas di kantor kecamatan untuk pengurusan KTP sebagai uang pelican. Ironisnya, warga yang mengurus KTP itu sejak dari rumah memang sudah mempersiapkan uang ekstra tersebut untuk kelancaran urusan administratif yang akan dia dapatkan.  Kedua belah pihak sudah menganggap hal tersebut sebagai kewajaran. Orang yang tidak mau membayar “uang administrasi” atau sekedar mempertanyakan kekuatan hokum bagi keharusan membayar tersebut justru dianggap sebagai orang yang tidak tahu arti kekerabatan atau orang yang berada diluar sistem. Uang semir dianggap sebagai sarana yang wajar untuk membuat supaya setiap pelayanan umum berjalan mulus. Itulah sebabnya fenomena-fenomena yang mirip seperti ini berlangsung secara sistematik dimana-mana.
Kenapa harus diperlukan sebuah aturan untuk mencegah perilaku tidak etis tersebut?
            Dalam buku yang saya baca, disebutkan bahwa sebelum era reformasi, sistem administrasi publik di Indonesia sangat tersentralisasi dan amat mengandalkan berbagai prosedur rinci dalam bentuk perundang-undangan. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah penyalahgunaan wewenang para pejabat pelaksana dan sekaligus untuk menghindari penyimpangan. Kebijakan publik dirinci dengan teliti dan distandardisasi dalam bentuk petunjuk pelaksanaan dan petunjuk pelaksanaan teknis. Karena lingkungan sosial politik di Indonesia dipengaruhi oleh nilai-nilai yang feodalistik dan paternalistik, sistem administrasi publik ditandai dengan tingkat pelayanan yang berbelit-belit, lambat dan kerapkali dikenai biaya mahal, termasuk berbagai pungutan liar. Situasi ini menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan sekaligus menghambat inisiatif dan kreativitas pegawai akibat pembatasan cara-cara inovatif untuk mencapai tujuan.
            Lahirnya UU No. 22/1999 yang diamandemen menjadi UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah memberikan ruang gerak yang lebih luas bagi Pemda untuk lebih aktif berprakarsa melalui proses desentralisasi. Namun, itu tidak menjadi jaminan bahwa Pemda mempunyai kinerja yang lebih baik untuk rakyat. UU tersebut tidak akan bermanfaat apa-apa jika sistem pemerintahan dan sistem administrasi publik di daerah tidak berfungsi sesuai dengan harapan masyarakat.
            Bagaimanapun juga, krisis multidimensi di Indonesia berkaitan erat dengan krisis dan lemahnya tanggung jawab pemerintah yang berujung pada kegagalan menjalankan administrasi publik secara baik dan benar.
            Secara “psiko-sosiologis”, suatu tindakan yang menyimpang dari nilai adalah disebabkan karena bertemunya faktor “niat atau kemauan” dan “kesempatan”. Jika ada niat untuk melakukan tindakan tidak etis tersebut, sementara kesempatan tidak ada, maka tindakan tidak etis tadi tidak akan terjadi. Sebaliknya, ada kesempatan untuk melakukan korupsi, namun pada dirinya tidak ada niat atau kemauan untuk melakukan mal-administrasi, maka tindakan mal-administrasi juga tidak akan terjadi.
            Ada dua faktor yang menjadi penyebab timbulnya perilaku tidak etis yang terjadi dalam praktek administrasi publik. Pertama faktor internal yaitu faktor pribadi orang yang melakukan tindakan mal-administrasi. Kedua, faktor eksternal, yaitu faktor yang berada di luar diri pribadi orang yang melakukan tindakan mal-administrasi, bisa, lemahnya peraturan perundangan, lemahnya pelaksanaan pengawasan, dan lingkungan kerja yang memungkinkan terbukanya kesempatan untuk melakukan tindakan mal-administrasi.
            Faktor Internal berupa kepribadian seseorang. Faktor kepribadian ini berwujud suatu niat, kemauan, dorongan yang tumbuh dari dalam diri seseorang untuk melakukan tindakan tersebut. Faktor ini disebabkan oleh lemahnya mental seseorang, dangkalnya agama dan keimanan mereka, sehingga memudahkan mereka untuk melakukan sesuatu tindakan walaupun sesungguhnya mereka tahu bahwa tindakan yang akan mereka lakukan itu merupakan suatu tindakan yang tidak baik, tercela, buruk baik menurut nilai-nilai sosial, maupun menurut ajaran agama mereka. Namun karena rendahnya sikap mental mereka, dangkalnya keimanan dan keagamaan mereka, maka manakala ada kesempatan ada niatan untuk melakukan tindakan mal-administrasi dengan mudahnya mereka lakukan. Faktor Internal muncul banyak pula dipengaruhi oleh faktor eksternal, antara lain faktor kebutuhan keluarga, kesempatan, lingkungan kerja, dan lemahnya pengawasan, dan lain sebagainya.
            Faktor eksternal adalah faktor yang berada di luar diri orang yang melakukan tindakan mal-administrasi, bisa berupa, lemahnya peraturan, lemahnya lembaga kontrol, lingkungan kerja dan lain sebagainya yang membuka peluang (kesempatan) untuk melakukan tindakan korupsi. Meskipun aturan telah dibuat oleh pihak yang berwenang, tetapi masih ada pihak yang menyalahgunakan haknya. Hal ini mengakibatkan tidak terlaksananya proses dan kerja administrasi publik dengan baik dan benar.
            Peraturan perundangan dimana mereka bekerja, merupakan suatu tatanan nilai yang dibuat untuk diikuti dan dipatuhi oleh para pegawai dalam menjalankan tugas dan kewajiban yang diberikan kepadanya. Manakala peraturan tadi memberi kelonggaran bagi pegawainya untuk melakukan tindakan tidak etis dalam pelaksanaan administrasi publik, karena peraturannya tidak jelas, sanksi yang diberikan lemah, dan lain sebagainya, maka akan memberikan peluang (kesempatan) pegawai untuk melakukan tindakan tersebut. Misalnya, walaupun telah ada peraturan perundangan anti korupsi yaitu UU No.3 Tahun 1971 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No.11 Tahun 1980 tentang Pidana Suap, namun peraturan perundangan tersebut tidak efektif untuk mencegah tindakan korupsi. Dalam arti peraturan perundangan tadi masih belum banyak menjerat para pelaku korupsi. Hal ini disebabkan karena sulitnya untuk membuktikan tindakan korupsi, sehingga sulit untuk diproses sampai ke pengadilan. Belum lagi para pelaku korupsi yang telah menyiasati peraturan Perundang-undangan tadi dengan menggunakan pendekatan cost and benefit analysis (analisis untung rugi) dalam melakukan tindakan korupsi. Dalam arti antara hukuman yang diberikan dengan hasil korupsi yang dilakukan ternyata masih menguntungkan (hasil korupsi lebih besar daripada tuntutan atau ganjaran hukuman). Bahkan ada mekanisme banding yang dapat menunda hukuman, bisa melakukan kasasi, grasi, yang bisa jadi prosesnya cukup lama, sehingga memberi peluang bagi pelaku korupsi untuk menyiasati hasil korupsinya.
            Lemahnya lembaga pengawasan (control) dalam melaksanakan tugasnya juga merupakan salah satu penyebab munculnya tindakan mal-administrasi. Kendatipun lembaga pengawasan baik pengawasan politik,maupun pengawasan fungsional telah dibentuk, seperti DPR, BPK, BPKP, Irjen, Irwilprop, Irwilkab, Irwikod, dan bahkan waskat, serta wasmas telah dibentuk dan berjalan, namun para pelaku dari lembaga tersebut masih dengan mudah untuk diatur, masih mau disuap, disogok, dan sejenisnya, maka lembaga pengawasan (control) yang ada juga tidak akan mampu untuk melakukan pencegahan timbulnya tindakan tidak etis yang ada dalam tubuh birokrasi publik.
            Pemerintah pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Ia tidaklah diadakan untuk melayani diri sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai tujuan bersama. Pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik menurut paradigma “rule government” senantiasa lebih menyandarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berbeda dengan “good governance”, dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik tidak semata-mata didasarkan pada pemerintah (government) atau negara (state) saja, tetapi harus melibatkan seluruh elemen, baik di dalam intern birokrasi maupun di luar birokrasi publik.
            Administrasi negara (birokrasi publik) sebagai lembaga negara yang mengemban misi pemenuhan kepentingan publik dituntut bertanggung jawab terhadap publik yang dilayaninya. Ada tiga konsep penting menyangkut tanggung jawab administrasi negara terhadap publiknya yaitu akuntabilitas, responsibilitas, dan responsivitas.
            Jadi, Penyebab utama munculnya perilaku tidak etis yang terjadi dalam praktek administrasi publik adalah rendahnya profesionalisme aparat, kebijakan pemerintah yang tidak transparan, pengekangan terhadap kontrol sosial, tidak adanya manajemen partisipatif, berkembang-suburnya ideologi konsumtif dan hedonistik serta pragmatis realistik di kalangan penguasa dan belum adanya code of conduct yang kuat yang diberlakukan bagi aparat di semua lini dengan disertai sanksi yang tegas dan adil, walaupun telah ada UU dan peraturan yang mengatur tentang hak dan kewajiban para administrator publik dalam menjalankan tugasnya sebagai aparatur pemerintah dan pelayan masyarakat.



DAFTAR PUSTAKA
·         Kumorotomo, Wahyudi. 2007. Etika Administrasi Negara. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
·         Hidayat, L Mibah. 2007. Reformasi Administrasi: Kajian Komparatif Pemerintahan Tiga Presiden. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
·         Thompson, Dennis F. 2002. Etika Politik Pejabat Negara. Diterjemahkan oleh: Benyamin Molan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
·         Pasolong, Harbani. 2011. Teori Administrasi Publik. Bandung: Alfabeta.
·          Etika Administrasi Publik. http://jhansem.wordpress.com/2009/03/10/etika-administrasi-negara-publik/
·         Etika Administrasi Negara Dalam Birokrasi Pemerintahan. http://herwanp.staff.fisip.uns.ac.id/.

1 komentar: