Latar
Belakang
Etika administrasi negara merupakan salah satu wujud kontrol
terhadap administrasi negara dalam melaksanakan apa yang menjadi tugas pokok,
fungsi dan kewenangannya. Manakala administrasi negara menginginkan sikap,
tindakan dan perilakunya dikatakan baik, maka dalam menjalankan tugas pokok,
fungsi dan kewenangannya harus menyandarkan pada etika administrasi negara.
Etika administrasi negara disamping digunakan sebagai pedoman, acuan, referensi
administrasi negara dapat pula digunakan sebagai standar untuk menentukan
sikap, perilaku, dan kebijakannya dapat dikatakan baik atau buruk.
Law enforcement sangat membutuhkan adanya akuntabilitas dari
birokrasi dan manajemen pemerintahan sehingga penyimpangan yang akan dilakukan
oleh birokrat-birokrat dapat terlihat dan ter-akuntable dengan jelas sehingga
akan memudahakan law enforcement yang baik pada reinventing government dalam
upaya menata ulang manajemen pemerintahan Indonesia yang sehat dan berlandaskan
pada prinsip-prinsip good governance dan berasaskan nilai-nilai etika
administrasi.
Selanjutnya Darwin (1999) juga mengartikan Etika Birokrasi
(Administrasi Negara) adalah sebagai seperangkat nilai yang menjadi acuan atau
penuntun bagi tindakan manusia dalam organisasi. Dengan mengacu kedua pendapat
ini, maka etika mempunyai dua fungsi, yaitu pertama sebagai pedoman, acuan,
referensi bagi administrasi negara (birokrasi publik) dalam menjalankan tugas
dan kewenangannya agar tindakannya dalam birokrasi sebagai standar penilaian
apakah sifat, perilaku, dan tindakan birokrasi publik dinilai abik, buruk,
tidak tercela, dan terpuji. Seperangkat nilai dalam etika birokrasi yang dapat
digunakan sebagai acuan, referensi, penuntun, bagi birokrasi publik dalam
menjalan tugas dan kewenangannya antara lain, efisiensi, membedakan milik
pribadi dengan milik kantor, impersonal, merytal system,r esponsible,
accountable, dan responsiveness.
Mal-Administrasi
Dalam era reformasi, banyak “mal pratik” pada tubuh
birokrasi yang selama era orde baru terjadi diblejeti satu persatu oleh masyarakat,
baik mal-praktek dalam bentuk “korupsi, kolusi, maupun nepotisme”.KKN merupakan
tindakan yang menyimpang hukum dan biasanya pada kasus-kasus ini terdapat
banyak penyimpangan serta penyelewengan pada law enforcement, hal ini sangat
besar kemungkinan pada etika adaministrasi negara dalam revitalisasi manajemen
pemerintahan dalam rangka upaya penataan ulang pemerintahan Indonesia yang
tidak sesuai dengan good governance.
Sebenarnya apakah yang menjadi landasan dasar yang dapat
menjadi aacuan, pedoman, dan referensi dalam melaksanakan manajemen
pemerintahan yang baik dan sehat serta birokrasi yang sehat adalah etika
administrasi yang memiliki acuan dan pedoman serta referensi, salah satu wujud
konkrit yang tegas dalam menindaklanjuti mal administrasi seprti contoh yang
sangat sering terjadi Korupsi, melalui Law enforcement maka semua penyelewengan
akan mudah diminimalisir, Law enforcement akan mudah terdeteksi sangat
berkaitan dengan adanya akuntabilitas birokrasi dan manajemen pemerintahan yang
sedang malaksanakan revitalisasi yang memegang prinsip good governance guna
mencapai reinventing government dan menata ulang manajemen pemrintahan
indonesia kearah yang lebih sehat dan profesional.
Korupsi: Salah Satu Bentuk Mal-Administrasi
Jika orang mendengar istilah korupsi, biasanya yang
tergambar ialah adanya seorang pejabat tinggi yang dengan rakus menggelapakan
uag pajak, mengumpulkan komisi, atau menggunakan uang negara lainnnya untuk
kepentingan pribadi. Korupsi sebagian besar dikaitkan dengan penggelapan
sejumlah uang atau hal-hal yang bersifat material.
Korupsi dapat diartikan sebagai bentuk perbuatan menggunakan
barang publik, bisa berupa uang dan jasa, untuk kepentingan memperkaya diri,
dan bukan untuk kepentingan publik. Dilihat proses terjadinya perilaku korupsi
ini dapat dibedakan ke dalam tiga bentuk, yaitu Graft, Bribery, dan nepotism.
Graft, merupakan korupsi yang bersifat internal. Artinya
korupsi yang dilakukan tanpa melihat pihak ketiga. Seperti menggunakan atau
atau mengambil barang kantor, uang kantor, jabatan kantor untk kepentingan diri
sendiri. Korupsi ini terjadi karena mereka mempunyai kedudukan dan jabatan di
kantor tersebut. Dengan wewenangnya, para bawahan tidak dapat menolak
permintaan atasannya.
Sementara
bribery (penyogokan, penyuapan), merupakan tindakan korupsi yang melibatkan
orang lain diluar dirinya (instansinya). Karenanya korupsi ini sering disebut
dengan korupsi yang bersifat eksternal. Artinya tindakan korupsi tadi tidak
akan terjadi jika tidak ada orang lain, yang melakukan tindakan penyuapan,
penyogokan terhadap dirinya. . Pelayanan yang diberikan seringkali dihambat,
tidak lancar, bukan karena sistem dan prosedurnya, tapi karena disengaja oleh
oknum birokrat. Sehingga mereka yang berkepentingan, lebih suka melalui calo,
atau dengan cara memberi pelicin berupa uang untuk menyuap, menyogok, agar
urusannya menjadi lancar.
Sedangkan nepotism, merupakan suatu tindakan korupsi berupa
kecendrungan pengambilan keputusan yang tidak berdasarkan pada pertimbangan
objektif, rasional, tapi didasarkan atas pertimbangan “nepitis”, “kekerabatan”,
sepeti masih teman, keluarga, golongan, pejabat, dan lain sebagainya.
Dalam menjalankan
aktivitas-aktivitas administrative, sebagian aparat sering menarik uang ekstra
dari layanan yang diberikan kepada seorang warga masyarakat untuk kepentingan
pribadi. Istilah lainnya yang biasanya dihubungkan dengan korupsi adalah
manipulasi.
Fenomena
korupsi yang pertama-tama dapat disebutkan, yang berskala kecil, tetapi sering
terjadi di dalam manajemen public tingkat opersional ialah berkaitan dengan
pengertian pungli. Ungkapan-ungkapan seperti salam tempel, tahu sama tahu
(TST), uang semir, uang pelican, atau pelancar. Pada dasarnya fenomena korupsi
prosedural terjadi karena adanya kesepakatan timbale-balik antara oknum petugas
dengan pengguna jasa public untuk saling membebaskan diri dari perbuatan yang
melanggar hukum dan tidak etis.mereka sepakat untuk menutup mata atau pura-pura
tidak tahu terhadap aturan hukum yang berlaku. Seorang warga misalnya
memberikan sejumlah uang dengan sukarela kepada petugas di kantor kecamatan
untuk pengurusan KTP sebagai uang pelican. Ironisnya, warga yang mengurus KTP
itu sejak dari rumah memang sudah mempersiapkan uang ekstra tersebut untuk
kelancaran urusan administratif yang akan dia dapatkan. Kedua belah pihak sudah menganggap hal
tersebut sebagai kewajaran. Orang yang tidak mau membayar “uang administrasi”
atau sekedar mempertanyakan kekuatan hokum bagi keharusan membayar tersebut
justru dianggap sebagai orang yang tidak tahu arti kekerabatan atau orang yang
berada diluar sistem. Uang semir dianggap sebagai sarana yang wajar untuk
membuat supaya setiap pelayanan umum berjalan mulus. Itulah sebabnya
fenomena-fenomena yang mirip seperti ini berlangsung secara sistematik
dimana-mana.
Kenapa
harus diperlukan sebuah aturan untuk mencegah perilaku tidak etis tersebut?
Dalam buku yang saya baca,
disebutkan bahwa sebelum era reformasi, sistem administrasi publik di Indonesia
sangat tersentralisasi dan amat mengandalkan berbagai prosedur rinci dalam
bentuk perundang-undangan. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah penyalahgunaan
wewenang para pejabat pelaksana dan sekaligus untuk menghindari penyimpangan.
Kebijakan publik dirinci dengan teliti dan distandardisasi dalam bentuk
petunjuk pelaksanaan dan petunjuk pelaksanaan teknis. Karena lingkungan sosial
politik di Indonesia dipengaruhi oleh nilai-nilai yang feodalistik dan
paternalistik, sistem administrasi publik ditandai dengan tingkat pelayanan
yang berbelit-belit, lambat dan kerapkali dikenai biaya mahal, termasuk
berbagai pungutan liar. Situasi ini menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan
sekaligus menghambat inisiatif dan kreativitas pegawai akibat pembatasan
cara-cara inovatif untuk mencapai tujuan.
Lahirnya UU No. 22/1999 yang
diamandemen menjadi UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah memberikan ruang
gerak yang lebih luas bagi Pemda untuk lebih aktif berprakarsa melalui proses
desentralisasi. Namun, itu tidak menjadi jaminan bahwa Pemda mempunyai kinerja
yang lebih baik untuk rakyat. UU tersebut tidak akan bermanfaat apa-apa jika
sistem pemerintahan dan sistem administrasi publik di daerah tidak berfungsi
sesuai dengan harapan masyarakat.
Bagaimanapun juga, krisis
multidimensi di Indonesia berkaitan erat dengan krisis dan lemahnya tanggung
jawab pemerintah yang berujung pada kegagalan menjalankan administrasi publik
secara baik dan benar.
Secara “psiko-sosiologis”, suatu tindakan yang menyimpang
dari nilai adalah disebabkan karena bertemunya faktor “niat atau kemauan” dan
“kesempatan”. Jika ada niat untuk melakukan tindakan tidak etis tersebut,
sementara kesempatan tidak ada, maka tindakan tidak etis tadi tidak akan
terjadi. Sebaliknya, ada kesempatan untuk melakukan korupsi, namun pada dirinya
tidak ada niat atau kemauan untuk melakukan mal-administrasi, maka tindakan
mal-administrasi juga tidak akan terjadi.
Ada dua faktor yang menjadi penyebab timbulnya perilaku
tidak etis yang terjadi dalam praktek administrasi publik. Pertama faktor
internal yaitu faktor pribadi orang yang melakukan tindakan mal-administrasi.
Kedua, faktor eksternal, yaitu faktor yang berada di luar diri pribadi orang
yang melakukan tindakan mal-administrasi, bisa, lemahnya peraturan perundangan,
lemahnya pelaksanaan pengawasan, dan lingkungan kerja yang memungkinkan
terbukanya kesempatan untuk melakukan tindakan mal-administrasi.
Faktor Internal berupa kepribadian seseorang. Faktor
kepribadian ini berwujud suatu niat, kemauan, dorongan yang tumbuh dari dalam
diri seseorang untuk melakukan tindakan tersebut. Faktor ini disebabkan oleh
lemahnya mental seseorang, dangkalnya agama dan keimanan mereka, sehingga
memudahkan mereka untuk melakukan sesuatu tindakan walaupun sesungguhnya mereka
tahu bahwa tindakan yang akan mereka lakukan itu merupakan suatu tindakan yang
tidak baik, tercela, buruk baik menurut nilai-nilai sosial, maupun menurut
ajaran agama mereka. Namun karena rendahnya sikap mental mereka, dangkalnya
keimanan dan keagamaan mereka, maka manakala ada kesempatan ada niatan untuk
melakukan tindakan mal-administrasi dengan mudahnya mereka lakukan. Faktor
Internal muncul banyak pula dipengaruhi oleh faktor eksternal, antara lain
faktor kebutuhan keluarga, kesempatan, lingkungan kerja, dan lemahnya
pengawasan, dan lain sebagainya.
Faktor eksternal adalah faktor yang
berada di luar diri orang yang melakukan tindakan mal-administrasi, bisa
berupa, lemahnya peraturan, lemahnya lembaga kontrol, lingkungan kerja dan lain
sebagainya yang membuka peluang (kesempatan) untuk melakukan tindakan korupsi.
Meskipun aturan telah dibuat oleh pihak yang berwenang, tetapi masih ada pihak
yang menyalahgunakan haknya. Hal ini mengakibatkan tidak terlaksananya proses
dan kerja administrasi publik dengan baik dan benar.
Peraturan perundangan dimana mereka
bekerja, merupakan suatu tatanan nilai yang dibuat untuk diikuti dan dipatuhi
oleh para pegawai dalam menjalankan tugas dan kewajiban yang diberikan
kepadanya. Manakala peraturan tadi memberi kelonggaran bagi pegawainya untuk
melakukan tindakan tidak etis dalam pelaksanaan administrasi publik, karena
peraturannya tidak jelas, sanksi yang diberikan lemah, dan lain sebagainya,
maka akan memberikan peluang (kesempatan) pegawai untuk melakukan tindakan
tersebut. Misalnya, walaupun telah ada peraturan perundangan anti korupsi yaitu
UU No.3 Tahun 1971 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No.11
Tahun 1980 tentang Pidana Suap, namun peraturan perundangan tersebut tidak
efektif untuk mencegah tindakan korupsi. Dalam arti peraturan perundangan tadi
masih belum banyak menjerat para pelaku korupsi. Hal ini disebabkan karena
sulitnya untuk membuktikan tindakan korupsi, sehingga sulit untuk diproses
sampai ke pengadilan. Belum lagi para pelaku korupsi yang telah menyiasati
peraturan Perundang-undangan tadi dengan menggunakan pendekatan cost and
benefit analysis (analisis untung rugi) dalam melakukan tindakan korupsi. Dalam
arti antara hukuman yang diberikan dengan hasil korupsi yang dilakukan ternyata
masih menguntungkan (hasil korupsi lebih besar daripada tuntutan atau ganjaran
hukuman). Bahkan ada mekanisme banding yang dapat menunda hukuman, bisa
melakukan kasasi, grasi, yang bisa jadi prosesnya cukup lama, sehingga memberi
peluang bagi pelaku korupsi untuk menyiasati hasil korupsinya.
Lemahnya lembaga pengawasan (control)
dalam melaksanakan tugasnya juga merupakan salah satu penyebab munculnya
tindakan mal-administrasi. Kendatipun lembaga pengawasan baik pengawasan
politik,maupun pengawasan fungsional telah dibentuk, seperti DPR, BPK, BPKP,
Irjen, Irwilprop, Irwilkab, Irwikod, dan bahkan waskat, serta wasmas telah
dibentuk dan berjalan, namun para pelaku dari lembaga tersebut masih dengan
mudah untuk diatur, masih mau disuap, disogok, dan sejenisnya, maka lembaga
pengawasan (control) yang ada juga tidak akan mampu untuk melakukan pencegahan
timbulnya tindakan tidak etis yang ada dalam tubuh birokrasi publik.
Pemerintah pada hakekatnya adalah
pelayanan kepada masyarakat. Ia tidaklah diadakan untuk melayani diri sendiri,
tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan
setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi
mencapai tujuan bersama. Pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan,
pembangunan, dan pelayanan publik menurut paradigma “rule government”
senantiasa lebih menyandarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berbeda dengan “good governance”, dalam penyelenggaraan pemerintahan,
pembangunan dan pelayanan publik tidak semata-mata didasarkan pada pemerintah
(government) atau negara (state) saja, tetapi harus melibatkan seluruh elemen,
baik di dalam intern birokrasi maupun di luar birokrasi publik.
Administrasi negara (birokrasi
publik) sebagai lembaga negara yang mengemban misi pemenuhan kepentingan publik
dituntut bertanggung jawab terhadap publik yang dilayaninya. Ada tiga konsep
penting menyangkut tanggung jawab administrasi negara terhadap publiknya yaitu
akuntabilitas, responsibilitas, dan responsivitas.
Jadi,
Penyebab utama munculnya perilaku tidak etis yang terjadi dalam praktek
administrasi publik adalah rendahnya profesionalisme aparat, kebijakan
pemerintah yang tidak transparan, pengekangan terhadap kontrol sosial, tidak
adanya manajemen partisipatif, berkembang-suburnya ideologi konsumtif dan
hedonistik serta pragmatis realistik di kalangan penguasa dan belum adanya code
of conduct yang kuat yang diberlakukan bagi aparat di semua lini dengan
disertai sanksi yang tegas dan adil, walaupun telah ada UU dan peraturan yang
mengatur tentang hak dan kewajiban para administrator publik dalam menjalankan
tugasnya sebagai aparatur pemerintah dan pelayan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
·
Kumorotomo, Wahyudi. 2007. Etika Administrasi Negara. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
·
Hidayat, L Mibah. 2007. Reformasi Administrasi: Kajian Komparatif
Pemerintahan Tiga Presiden. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
·
Thompson, Dennis F. 2002. Etika Politik Pejabat Negara.
Diterjemahkan oleh: Benyamin Molan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
·
Pasolong, Harbani. 2011. Teori Administrasi Publik. Bandung:
Alfabeta.
·
Etika Administrasi Publik. http://jhansem.wordpress.com/2009/03/10/etika-administrasi-negara-publik/.
·
Etika
Administrasi Negara Dalam Birokrasi Pemerintahan.
http://herwanp.staff.fisip.uns.ac.id/.