Halaman

Minggu, 07 April 2013

PERILAKU TIDAK ETIS DALAM PRAKTEK ADMINISTRASI PUBLIK


Latar Belakang
Etika administrasi negara merupakan salah satu wujud kontrol terhadap administrasi negara dalam melaksanakan apa yang menjadi tugas pokok, fungsi dan kewenangannya. Manakala administrasi negara menginginkan sikap, tindakan dan perilakunya dikatakan baik, maka dalam menjalankan tugas pokok, fungsi dan kewenangannya harus menyandarkan pada etika administrasi negara. Etika administrasi negara disamping digunakan sebagai pedoman, acuan, referensi administrasi negara dapat pula digunakan sebagai standar untuk menentukan sikap, perilaku, dan kebijakannya dapat dikatakan baik atau buruk.
Law enforcement sangat membutuhkan adanya akuntabilitas dari birokrasi dan manajemen pemerintahan sehingga penyimpangan yang akan dilakukan oleh birokrat-birokrat dapat terlihat dan ter-akuntable dengan jelas sehingga akan memudahakan law enforcement yang baik pada reinventing government dalam upaya menata ulang manajemen pemerintahan Indonesia yang sehat dan berlandaskan pada prinsip-prinsip good governance dan berasaskan nilai-nilai etika administrasi.
Selanjutnya Darwin (1999) juga mengartikan Etika Birokrasi (Administrasi Negara) adalah sebagai seperangkat nilai yang menjadi acuan atau penuntun bagi tindakan manusia dalam organisasi. Dengan mengacu kedua pendapat ini, maka etika mempunyai dua fungsi, yaitu pertama sebagai pedoman, acuan, referensi bagi administrasi negara (birokrasi publik) dalam menjalankan tugas dan kewenangannya agar tindakannya dalam birokrasi sebagai standar penilaian apakah sifat, perilaku, dan tindakan birokrasi publik dinilai abik, buruk, tidak tercela, dan terpuji. Seperangkat nilai dalam etika birokrasi yang dapat digunakan sebagai acuan, referensi, penuntun, bagi birokrasi publik dalam menjalan tugas dan kewenangannya antara lain, efisiensi, membedakan milik pribadi dengan milik kantor, impersonal, merytal system,r esponsible, accountable, dan responsiveness.
Mal-Administrasi
Dalam era reformasi, banyak “mal pratik” pada tubuh birokrasi yang selama era orde baru terjadi diblejeti satu persatu oleh masyarakat, baik mal-praktek dalam bentuk “korupsi, kolusi, maupun nepotisme”.KKN merupakan tindakan yang menyimpang hukum dan biasanya pada kasus-kasus ini terdapat banyak penyimpangan serta penyelewengan pada law enforcement, hal ini sangat besar kemungkinan pada etika adaministrasi negara dalam revitalisasi manajemen pemerintahan dalam rangka upaya penataan ulang pemerintahan Indonesia yang tidak sesuai dengan good governance.
Sebenarnya apakah yang menjadi landasan dasar yang dapat menjadi aacuan, pedoman, dan referensi dalam melaksanakan manajemen pemerintahan yang baik dan sehat serta birokrasi yang sehat adalah etika administrasi yang memiliki acuan dan pedoman serta referensi, salah satu wujud konkrit yang tegas dalam menindaklanjuti mal administrasi seprti contoh yang sangat sering terjadi Korupsi, melalui Law enforcement maka semua penyelewengan akan mudah diminimalisir, Law enforcement akan mudah terdeteksi sangat berkaitan dengan adanya akuntabilitas birokrasi dan manajemen pemerintahan yang sedang malaksanakan revitalisasi yang memegang prinsip good governance guna mencapai reinventing government dan menata ulang manajemen pemrintahan indonesia kearah yang lebih sehat dan profesional.
Korupsi: Salah Satu Bentuk Mal-Administrasi
Jika orang mendengar istilah korupsi, biasanya yang tergambar ialah adanya seorang pejabat tinggi yang dengan rakus menggelapakan uag pajak, mengumpulkan komisi, atau menggunakan uang negara lainnnya untuk kepentingan pribadi. Korupsi sebagian besar dikaitkan dengan penggelapan sejumlah uang atau hal-hal yang bersifat material.
Korupsi dapat diartikan sebagai bentuk perbuatan menggunakan barang publik, bisa berupa uang dan jasa, untuk kepentingan memperkaya diri, dan bukan untuk kepentingan publik. Dilihat proses terjadinya perilaku korupsi ini dapat dibedakan ke dalam tiga bentuk, yaitu Graft, Bribery, dan nepotism.
Graft, merupakan korupsi yang bersifat internal. Artinya korupsi yang dilakukan tanpa melihat pihak ketiga. Seperti menggunakan atau atau mengambil barang kantor, uang kantor, jabatan kantor untk kepentingan diri sendiri. Korupsi ini terjadi karena mereka mempunyai kedudukan dan jabatan di kantor tersebut. Dengan wewenangnya, para bawahan tidak dapat menolak permintaan atasannya.
Sementara bribery (penyogokan, penyuapan), merupakan tindakan korupsi yang melibatkan orang lain diluar dirinya (instansinya). Karenanya korupsi ini sering disebut dengan korupsi yang bersifat eksternal. Artinya tindakan korupsi tadi tidak akan terjadi jika tidak ada orang lain, yang melakukan tindakan penyuapan, penyogokan terhadap dirinya. . Pelayanan yang diberikan seringkali dihambat, tidak lancar, bukan karena sistem dan prosedurnya, tapi karena disengaja oleh oknum birokrat. Sehingga mereka yang berkepentingan, lebih suka melalui calo, atau dengan cara memberi pelicin berupa uang untuk menyuap, menyogok, agar urusannya menjadi lancar.
Sedangkan nepotism, merupakan suatu tindakan korupsi berupa kecendrungan pengambilan keputusan yang tidak berdasarkan pada pertimbangan objektif, rasional, tapi didasarkan atas pertimbangan “nepitis”, “kekerabatan”, sepeti masih teman, keluarga, golongan, pejabat, dan lain sebagainya.
            Dalam menjalankan aktivitas-aktivitas administrative, sebagian aparat sering menarik uang ekstra dari layanan yang diberikan kepada seorang warga masyarakat untuk kepentingan pribadi. Istilah lainnya yang biasanya dihubungkan dengan korupsi adalah manipulasi.
            Fenomena korupsi yang pertama-tama dapat disebutkan, yang berskala kecil, tetapi sering terjadi di dalam manajemen public tingkat opersional ialah berkaitan dengan pengertian pungli. Ungkapan-ungkapan seperti salam tempel, tahu sama tahu (TST), uang semir, uang pelican, atau pelancar. Pada dasarnya fenomena korupsi prosedural terjadi karena adanya kesepakatan timbale-balik antara oknum petugas dengan pengguna jasa public untuk saling membebaskan diri dari perbuatan yang melanggar hukum dan tidak etis.mereka sepakat untuk menutup mata atau pura-pura tidak tahu terhadap aturan hukum yang berlaku. Seorang warga misalnya memberikan sejumlah uang dengan sukarela kepada petugas di kantor kecamatan untuk pengurusan KTP sebagai uang pelican. Ironisnya, warga yang mengurus KTP itu sejak dari rumah memang sudah mempersiapkan uang ekstra tersebut untuk kelancaran urusan administratif yang akan dia dapatkan.  Kedua belah pihak sudah menganggap hal tersebut sebagai kewajaran. Orang yang tidak mau membayar “uang administrasi” atau sekedar mempertanyakan kekuatan hokum bagi keharusan membayar tersebut justru dianggap sebagai orang yang tidak tahu arti kekerabatan atau orang yang berada diluar sistem. Uang semir dianggap sebagai sarana yang wajar untuk membuat supaya setiap pelayanan umum berjalan mulus. Itulah sebabnya fenomena-fenomena yang mirip seperti ini berlangsung secara sistematik dimana-mana.
Kenapa harus diperlukan sebuah aturan untuk mencegah perilaku tidak etis tersebut?
            Dalam buku yang saya baca, disebutkan bahwa sebelum era reformasi, sistem administrasi publik di Indonesia sangat tersentralisasi dan amat mengandalkan berbagai prosedur rinci dalam bentuk perundang-undangan. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah penyalahgunaan wewenang para pejabat pelaksana dan sekaligus untuk menghindari penyimpangan. Kebijakan publik dirinci dengan teliti dan distandardisasi dalam bentuk petunjuk pelaksanaan dan petunjuk pelaksanaan teknis. Karena lingkungan sosial politik di Indonesia dipengaruhi oleh nilai-nilai yang feodalistik dan paternalistik, sistem administrasi publik ditandai dengan tingkat pelayanan yang berbelit-belit, lambat dan kerapkali dikenai biaya mahal, termasuk berbagai pungutan liar. Situasi ini menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan sekaligus menghambat inisiatif dan kreativitas pegawai akibat pembatasan cara-cara inovatif untuk mencapai tujuan.
            Lahirnya UU No. 22/1999 yang diamandemen menjadi UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah memberikan ruang gerak yang lebih luas bagi Pemda untuk lebih aktif berprakarsa melalui proses desentralisasi. Namun, itu tidak menjadi jaminan bahwa Pemda mempunyai kinerja yang lebih baik untuk rakyat. UU tersebut tidak akan bermanfaat apa-apa jika sistem pemerintahan dan sistem administrasi publik di daerah tidak berfungsi sesuai dengan harapan masyarakat.
            Bagaimanapun juga, krisis multidimensi di Indonesia berkaitan erat dengan krisis dan lemahnya tanggung jawab pemerintah yang berujung pada kegagalan menjalankan administrasi publik secara baik dan benar.
            Secara “psiko-sosiologis”, suatu tindakan yang menyimpang dari nilai adalah disebabkan karena bertemunya faktor “niat atau kemauan” dan “kesempatan”. Jika ada niat untuk melakukan tindakan tidak etis tersebut, sementara kesempatan tidak ada, maka tindakan tidak etis tadi tidak akan terjadi. Sebaliknya, ada kesempatan untuk melakukan korupsi, namun pada dirinya tidak ada niat atau kemauan untuk melakukan mal-administrasi, maka tindakan mal-administrasi juga tidak akan terjadi.
            Ada dua faktor yang menjadi penyebab timbulnya perilaku tidak etis yang terjadi dalam praktek administrasi publik. Pertama faktor internal yaitu faktor pribadi orang yang melakukan tindakan mal-administrasi. Kedua, faktor eksternal, yaitu faktor yang berada di luar diri pribadi orang yang melakukan tindakan mal-administrasi, bisa, lemahnya peraturan perundangan, lemahnya pelaksanaan pengawasan, dan lingkungan kerja yang memungkinkan terbukanya kesempatan untuk melakukan tindakan mal-administrasi.
            Faktor Internal berupa kepribadian seseorang. Faktor kepribadian ini berwujud suatu niat, kemauan, dorongan yang tumbuh dari dalam diri seseorang untuk melakukan tindakan tersebut. Faktor ini disebabkan oleh lemahnya mental seseorang, dangkalnya agama dan keimanan mereka, sehingga memudahkan mereka untuk melakukan sesuatu tindakan walaupun sesungguhnya mereka tahu bahwa tindakan yang akan mereka lakukan itu merupakan suatu tindakan yang tidak baik, tercela, buruk baik menurut nilai-nilai sosial, maupun menurut ajaran agama mereka. Namun karena rendahnya sikap mental mereka, dangkalnya keimanan dan keagamaan mereka, maka manakala ada kesempatan ada niatan untuk melakukan tindakan mal-administrasi dengan mudahnya mereka lakukan. Faktor Internal muncul banyak pula dipengaruhi oleh faktor eksternal, antara lain faktor kebutuhan keluarga, kesempatan, lingkungan kerja, dan lemahnya pengawasan, dan lain sebagainya.
            Faktor eksternal adalah faktor yang berada di luar diri orang yang melakukan tindakan mal-administrasi, bisa berupa, lemahnya peraturan, lemahnya lembaga kontrol, lingkungan kerja dan lain sebagainya yang membuka peluang (kesempatan) untuk melakukan tindakan korupsi. Meskipun aturan telah dibuat oleh pihak yang berwenang, tetapi masih ada pihak yang menyalahgunakan haknya. Hal ini mengakibatkan tidak terlaksananya proses dan kerja administrasi publik dengan baik dan benar.
            Peraturan perundangan dimana mereka bekerja, merupakan suatu tatanan nilai yang dibuat untuk diikuti dan dipatuhi oleh para pegawai dalam menjalankan tugas dan kewajiban yang diberikan kepadanya. Manakala peraturan tadi memberi kelonggaran bagi pegawainya untuk melakukan tindakan tidak etis dalam pelaksanaan administrasi publik, karena peraturannya tidak jelas, sanksi yang diberikan lemah, dan lain sebagainya, maka akan memberikan peluang (kesempatan) pegawai untuk melakukan tindakan tersebut. Misalnya, walaupun telah ada peraturan perundangan anti korupsi yaitu UU No.3 Tahun 1971 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No.11 Tahun 1980 tentang Pidana Suap, namun peraturan perundangan tersebut tidak efektif untuk mencegah tindakan korupsi. Dalam arti peraturan perundangan tadi masih belum banyak menjerat para pelaku korupsi. Hal ini disebabkan karena sulitnya untuk membuktikan tindakan korupsi, sehingga sulit untuk diproses sampai ke pengadilan. Belum lagi para pelaku korupsi yang telah menyiasati peraturan Perundang-undangan tadi dengan menggunakan pendekatan cost and benefit analysis (analisis untung rugi) dalam melakukan tindakan korupsi. Dalam arti antara hukuman yang diberikan dengan hasil korupsi yang dilakukan ternyata masih menguntungkan (hasil korupsi lebih besar daripada tuntutan atau ganjaran hukuman). Bahkan ada mekanisme banding yang dapat menunda hukuman, bisa melakukan kasasi, grasi, yang bisa jadi prosesnya cukup lama, sehingga memberi peluang bagi pelaku korupsi untuk menyiasati hasil korupsinya.
            Lemahnya lembaga pengawasan (control) dalam melaksanakan tugasnya juga merupakan salah satu penyebab munculnya tindakan mal-administrasi. Kendatipun lembaga pengawasan baik pengawasan politik,maupun pengawasan fungsional telah dibentuk, seperti DPR, BPK, BPKP, Irjen, Irwilprop, Irwilkab, Irwikod, dan bahkan waskat, serta wasmas telah dibentuk dan berjalan, namun para pelaku dari lembaga tersebut masih dengan mudah untuk diatur, masih mau disuap, disogok, dan sejenisnya, maka lembaga pengawasan (control) yang ada juga tidak akan mampu untuk melakukan pencegahan timbulnya tindakan tidak etis yang ada dalam tubuh birokrasi publik.
            Pemerintah pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Ia tidaklah diadakan untuk melayani diri sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai tujuan bersama. Pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik menurut paradigma “rule government” senantiasa lebih menyandarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berbeda dengan “good governance”, dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik tidak semata-mata didasarkan pada pemerintah (government) atau negara (state) saja, tetapi harus melibatkan seluruh elemen, baik di dalam intern birokrasi maupun di luar birokrasi publik.
            Administrasi negara (birokrasi publik) sebagai lembaga negara yang mengemban misi pemenuhan kepentingan publik dituntut bertanggung jawab terhadap publik yang dilayaninya. Ada tiga konsep penting menyangkut tanggung jawab administrasi negara terhadap publiknya yaitu akuntabilitas, responsibilitas, dan responsivitas.
            Jadi, Penyebab utama munculnya perilaku tidak etis yang terjadi dalam praktek administrasi publik adalah rendahnya profesionalisme aparat, kebijakan pemerintah yang tidak transparan, pengekangan terhadap kontrol sosial, tidak adanya manajemen partisipatif, berkembang-suburnya ideologi konsumtif dan hedonistik serta pragmatis realistik di kalangan penguasa dan belum adanya code of conduct yang kuat yang diberlakukan bagi aparat di semua lini dengan disertai sanksi yang tegas dan adil, walaupun telah ada UU dan peraturan yang mengatur tentang hak dan kewajiban para administrator publik dalam menjalankan tugasnya sebagai aparatur pemerintah dan pelayan masyarakat.



DAFTAR PUSTAKA
·         Kumorotomo, Wahyudi. 2007. Etika Administrasi Negara. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
·         Hidayat, L Mibah. 2007. Reformasi Administrasi: Kajian Komparatif Pemerintahan Tiga Presiden. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
·         Thompson, Dennis F. 2002. Etika Politik Pejabat Negara. Diterjemahkan oleh: Benyamin Molan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
·         Pasolong, Harbani. 2011. Teori Administrasi Publik. Bandung: Alfabeta.
·          Etika Administrasi Publik. http://jhansem.wordpress.com/2009/03/10/etika-administrasi-negara-publik/
·         Etika Administrasi Negara Dalam Birokrasi Pemerintahan. http://herwanp.staff.fisip.uns.ac.id/.

FILSAFAT DAN ADMINISTRASI

Korelasi filsafat dan administrasi


Sebelum menjelaskan tentang korelasi filsafat dan administrasi, saya akan mencoba memberikan sedikit pengertian tentang filsafat dan administrasi.
Seperti yang telah kita kita ketahui, filsafat berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata Philos dan Sophia. Philos berarti gemar, senang atau cinta. Sophia dapat diartikan kebijaksanaan atau kearifan. Jadi, dapat dikatakan filsafat berarti cinta kepada kebijaksanaan. Menjadi bijaksana berarti berusaha mendalami hakikat sesuatu. Dengan demikian dapat pula dikatakan bahwa berfilsafat berarti berusaha mengetahui tentang sesuatu dengan sedalam-dalamnya, baik mengenai hakikatnya, funngsinya, ciri-cirinya, kegunaannya, masalah-masalahnya, serta pemecahan-pemecahan terhadap masalah-masalah itu.
Al-Kindi (800-873) menyatakan”kegiatan manusia yang bertingkat tertinggi adalah filsafat, yang merupakan pengetahuan benar mengenai hakekat semua yang ada sejauh mungkin  bagi manusia……Bagian filsafat yang paling mulia adalah filsafat pertama yaitu pengetahuan kebenaran pertama yang merupakan sebab dari segala kebenaran”.
Scienta rerum percausal ultimas (Pengetahuan merupakan hal ihwal berdasarkan sebab musabab mendasar).
Pokok utama yang dikaji dalam filsafat adalah logika (tentang benar dan salah), etika (tentangbaik dan buruk) dan estetika (tentang yang indah dan jelek). Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemology (filsafat pengetahuan) , dimana ilmu merupakan cabang ilmu pengetahuan yang menunjukan cirri-ciri tertentu.
Administrasi dapat didefinisakan sebagai keseluruhan proses kerja sama antara dua orang manusia atau lebih yang didasarkan atas rasionalitas tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Ada beberapa hal yang terkandung dalam definisi diatas.
Pertama, administrasi sebagai seni adalah suatu proses yang diketahui hanya permulaannya sedang akhirnya tidak diketahui. Kedua, administrasi mempunyai unsur-unsur tertentu, yaitu adanya dua manusia atau lebih, adanya tujuan yag hendak dicapai, adanya tugas adanya tugas-tugas yang harus dilaksanakan, adanya peralatan dan perlemgkapan untuk melaksanakan tugas-tugas itu. Kedalam golongan peralatan dan perlengkapan termasuk pula waktu, tempat, pralatan materi serta sarana lainnya. Ketiga, bahwa administrasi sebagai proses kerjasama bukan merupakan hal yang baru karena ia telah timbul bersama-sama dengan timbulnya peradaban manusia. Tegasnya administrasi sebagai seni merupakan suatu fenomena social.
Ilmu administrasi negara, atau disebut ilmu administrasi publik adalah ilmu yang mempelajari seluruh aspek-aspek yang berjalan dalam setiap kegiatan birokrasi di negara ini.
hubungannya dengan ilmu filsafat adalah karena dalam menjalankan kegiatan negara, diperlukan nilai-nilai pengambilan keputusan publik yang realistis (filsafat). Manusia merupakan makhluk yang tidak pernah puas untuk memenuhi kebutuhannya. Sebagai makhluk sosial, ia juga tidak dapat hidup tanpa orang lain atau dengan kata lain, ia senantiasa membutuhkan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya yang tak terbatas itu. Seperti diketahui, bahwa jumlah barang pemuas kebutuhan tidaklah sebanding dengan apa yang diinginkan. Untuk itu, dibutuhkan suatu ilmu yang mampu mengatur bagaimana agar kebutuhan tersebut dapat terpenuhi tanpa menimbulkan permasalahan antara satu dengan yang lainnya.
Filsafat administrasi adalah berpikir secara matang dan mendalam terhadap hakikat dan makna yang terkandung dalam materi ilmu administrasi. Ontologi administrasi merupakan ilmu pengetahuan yang sifat jangkauannya sangat universal dan menyeluruh dari struktur kehidupan manusia. Epistemologi merupakan bagian dari filsafat ilmu yang mempelajari dan menetapkan kodrat atau skop suatu jenis ilmu pengetahuan serta dasar pembentukannya. Aksiologi ilmu administrasi merupakan salah satu bagian dari filsafat ilmu, maka tidak heran begitu banyak pertanyaan yang dapat dimunculkan karena memang filsafat mencari hakikat kandungan makna yang mendalam. Secara fenomenologis, komunitas dengan organisasi sangat sulit dibedakan.Hal semacam inilah merupakan keajaiban ilmu pengetahuan, dimana pandangan ilmuwan administrasi lebih populer dengan menggunakan istilah organisasi, sedangkan bagi ilmuwan sosiologi lebih populer dengan menggunakan istilah komunitas masyarakat.
Berfilsafat merupakan rangkaian kegiatan atau aktivitas dengan menggunakan pemikiran dan perasaan manusia. Pemikiran dan pemahaman ini senantiasa bersifat memantul kepada diri sendiri untuk memahami pekerjaan, pikiran, dan perasaan tersebut. Perasaan manusia selalu diarahkan untuk menelaah fenomena yang dialami oleh manusia sehingga dapat melahirkan suatu pemikiran. Berfilsafat adalah merenungi fenomena yang  dihadapi oleh manusia, kemudian melahirkan berbagai pertanyaan tentang fenomena itu.
Dapat dipahami bahwa korelasi antara filsafat dengan administrasi terletak pada bidang kajiannya, yaitu sama-sama mengkaji tentang manusia dan masyarakat.


Urgensi mempelajari filsafat administrasi bagi sarjana administrasi publik


Pentingnya Sarjana Administrasi Publik mempelajari filsafat administrasi adalah :
1.      Memahami bagaimanan filsafat yang benar dan mana yang salah, mana filsafat yang membawa kemajuan dan mana filsafat yang membawa kemajuan dan mana filsafat yang memundurkan masyarakat. Intinya, dengan mempelajari filsafat kita bisa tahu bagaimana masyarakat berkembang dan bagaimana pula filsafat mengiringi perkembangan itu. Kita tidak akan tahu bagaimana perubahan cara berpikir bisa membawa kebangkitan manusia dan membuat mereka mampu menghadapi realitas dan kadang juga mengubahnya.
2.      Filsafat membuat kita mandiri dan tidak bergantung pada orang lain. Filsafat membantu kita untuk berpikir dan, dengan demikian, kita akan dipandu untuk memahami dunia bersama misteri-misterinya, dunia seakan menjadi gamblang dengan permasalahan-permasalahnnya. Ini akan membantu kita mudah menghadapi masalah, dan kadang juga membuat kita mudah mengembangkan pengetahuan dan menggapai keterampilan teknis. Kemandirian berpikir membuat kita tak perlu banyak bertanya.
3.      Menggapai kebijakan dan nilai. Ini berkaitan dengan poin diatas. Nilai diperoleh dengan berpikir mendalam. Nilai itu penting untuk mengatur kehidupan sebab tanpa nilai kehidupan akan centang- perenang dan tanpa nilai manusia akan terombang-ambing tanpa paduan.
4.      Menggapai kebenaran. Filsafat adalah jalan menggapai kebenaran karena proses berpikir mendalam itu pada dasarnya adalah menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dan bagaimana hal itu bisa terjadi, terhadap suatu kenyataan. Jika kita tak memahami kenyataan berdasarkan kenyataan, itu adalah suatu kesalahan, dan ini biasanya terjadi saat orang tidak berfilsafat, atau pada saat orang menilai sesuatu seenaknya saja.
5.      memahami diri sendiri dan masyarakatnya: menghilangkan egoism, meningkatkan kesadaran kolektif. Tentang manfaat filsafat sebagai panduan untuk memahami diri sendiri.
6.      Filsafat untuk mengubah kehidupan. Artinya, dengan filsafat orang akan terdorong untuk mengubah segala sesuatu yang ternyata telah jauh menyimpang dari nilai-nilai kebenaran. Dalam hal ini, juga berarti bahwa filsafat juga tak dapat dipisahkan dari kerja mengubah kehidupan.

DAFTAR PUSTAKA

Ø  Siagian, Sondang P. 2003. Filsafat Administrasi. Jakarta: PT Bumi Aksara. Edisi Revisi.

METODE FILSAFAT


1.      Metode Kritis (Socrates)
Metode kritis disebut juga metode dialektik. Dipergunakan oleh Socrates dan Plato. Harold H Titus mengatakan bahwa metode ini merupakan metode dasar dalam filsafat.
Socrates (470-399 SM) menganalisis objek-objek filsafatnya secara kritis dan dialektis. Berusaha menemukan jawaban yang mendasarkan tentang objek analisanya dengan pemeriksaan yang amat teliti dan terus-menerus. Ia menempatkan dirinya sebagai intelektual mid wife, yaitu orang yang memberi dorongan agar seseorang bisa melahirkan pengetahuannya yang tertimbun oleh pengetahuan semunya. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap orang tahu akan hakekat. Jadi Socrates menolong orang untuk melahirkan pengetahuan hakekat tersebut dengan jalan mengajak dialog yang dilakukan secara cermat. Dialog ini dilakukan dengan menarik, penuh humor, segar dan sederhana. Socrates mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tajam dan terarah. Lawan dialog giring kearah persoalan, makin lama makin mendalam kearah intinya.
Lewat proses inilaah orang didorong untuk melahirkan pengetahuan yang dimiliki. Diteliti konsistensinya, dijernihkan keyakinan-keyakinannya, dibuka kesadarannya sehingga orang memahami keadaan dirinya. Entah dia memiliki pengetahuan yang sebenarnya atau dia kurang tahu.
Socrates  dalam hal ini bertindak sebagai bidan penolong sebuah proses kelahiran. Ia sebagai lawan dialog yang kritis dan menyenangkan, mengantar orang untuk menemukan kebenaran-kebenaran yang ada. Kemudian secara sitematis menyusun dalam suatu batasan pengertian yang mengandung nilai filosofis.
Plato meneruskan usaha gurunya, mengembangkan lebih lanjut metode Socrates. Dalam dialog Plato, orang dituntun untuk memahami hakekat objek dengan jalan mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara kritis dan mencari rumusan jawaban yang benar.
Metode Socrates dan Plato ini disebut metode kritis, sebab proses yang terjadi dalam implikasinya adalah menjernihkan keyakinan-keyakinan orang. Meneliti apakan memiliki kosistensi intern atau tidak. Prinsip utama dalam metode kritis adalah perkembangan pemikiran dengan cara mempertemukan ide-ide, interplay antar ide. Sasarannya adalah yang umum atau batiniah. Akhir dari dialog kritis tersebut adalah perumusan definisi yang sudah merupakan suatu generalisasi.

2.      Metode Intuitif (Platinos dan Bergson)
Filsuf yang mengembangkan pemikiran dengan metode ini adalah Platinos (205-275 M) dan Henri Bergson (1859-1941). Platinos menggunakan metode intuitif atau mistik dengan membentuk kelompok yang melakukan kontemplasi religious yang dijiwai oleh sikap kontemplatif.
Filsafat Platinos adalah a way of life. Tapi  bukan doktrin yang dogmatis, merupakan jalan untuk menghayati hidup religious yang mendalam. Dalam kelompoknya Platinos melakukan usaha untuk member semangat dan mengantarkan mereka kedalam kehidupan rohani.
Metode filsafat Platinos disebut metode mistik sebab dimaksudkan untuk menuju pengalaman batin dan persatuan dengan Tuhan. Dengan demikian bisa kita pahami bahwa tujuan Platinos dengan filsafatnya adalah ingin membawa manusia kedalam hidup mistis, hidup yang mempertinggi nilai rohani dan persatuan dengan Yang Maha Esa.
Tokoh lain dalam metode intuitif adalah Henry Bergson, seorang filsuf Yahudi, dia juga seorang matematikus dan fisikawan.
Menurut Henry Bergson, rasio tidak akan mampu untuk menyelami hakekat sesuatu. Rasio hanya berguna bagi pemikkiran ilmu fisika, matematika, dan mekanika.
Untuk bisa menangkap, memahami hakekat suatu kenyataan kita harus mempergunakan intuisi. Intuisi menurut Henry Bergson adalah kekuatan rohani, merupakan naluri yang mendapatkan kesadaran diri.
Intuisi adalah percakapan untuk menyimpulkan dan meninjau dengan sadar lepas dari rasio. Pemikiran intuisi bersifat dinamis dan berfungsi untuk  mengenal hakekat pribadi dan seluruh kenyataan. Objek bisa dikenal sebagai masa murni yang keadaannya berbeda sekali dengan waktu dimana akal bisa mengenalnya.
Metode intuitif Henry Bergson adalah gambaran yang merupakan suatu gerakan dinamik, sesuai dengan kenyataan. Dinamika kosmis hanya bisa dipahami kalau manusia menyelam dan membiarkan diri dalam arus kesadaran. Ia langsung mengambil bagian dalamnya. Identifikasi telah ditemukan dalam naluri, tapi dalam manusia mencapai tingkat lebih tinggi bersifat sadar diri, reflektif, disinterested, lepas dari tuntutan kegiatan dan hidup social.
Penyatuan ini merupakan persepsi yang langsung dan bukan konseptual. Intuisi langsung dan simple mengenai yang konkrit dan individual, pengertian yang terdiri dari kontak dan afinitas.
Intuisi dalam metode Henry Bergson merupakan suatu usaha mental dan konsentrasi pikiran. Menuju kesuatu hal yang spiritual dan bebas, dinamik dan bergelombang. Bukan kearah kontemplasi yang tenang. Jadi ada perbedaan dengan metode intuisi Platinos.

3.      Metode Skolastik (Aristoteles dan Thomas Aquinas)
Metode Skolastik dikembangkan oleh Thomas Aquinas (1225-1247). Juga disebut metode sintetis deduktif. Metode berpikir skolastik menunjukan persamaan dengan metode mengajar dalam bentuknya yang sistematis dan matang.
Ada dua prinsip utama dalam metode sekolastik yaitu Lectio dan Disputatio.
Lectio adalah perkuliahan kritis, diambil teks-teks dari para pemikir besar yang berwibawa untuk dikaji. Biasanya diberi interpretasi dan komentar-komentar kritis. Dalam proses inilah bisa timbul objektifitas metodis yang sangat mendalam terhadap sumbangan otentik dari para pemikir besar.
Soal real dalam teks diberi komentar. Problem-problemnya dipahami, ide-idenya diinterpretasi, dan kenyataannya dirumuskan, dibedakan, diuji dari segala segi. Penafsiran, pembahasan, dan pemahaman dari segala sudut. Pro dan kontra diajukan secara argumentative.
Disputatio adalah suatu diskusi sistematis dan meliputi debat dialegtis yang sangat terarah.
Bahannya adalah soal-soal yang ditemukan dalam teks atau persoalan-persoalan yang muncul dari teks tersebut. Bentuk perbincangan sangat terarah dan sistematis. Dosen mengajukan soal-soal yang problematis, kemudian keberatan-keberatan diajukan oleh seorang mahasiswa, dan seorang mahasiswa senior memberikan jawaban-jawaban. Kemudian kesimpulan determinatif kembali deberikan oleh dosen, kesimpulan ini merupakan jawaban-jawaban yang tepat atas persoalan dan keberatan-keberatan yang diajukan.
Disputatio menekankan aspek disiplin. Urutan-urutan harus tepat dalam mengajukan soal-soal  diskusi. Harus mengarah kejalan penemuan. Aspek lain dalam metode ini adalah penahanan terhadap sistem berpikir yang harus berlandakan aturan logika formal. Dan dengan metode ini diharapkan terjadi proses kreatif, terbentuk sikap kritis serta kemampuan berpikir mandiri. Akhirnya akan lahir pemikiran-pemikiran filsafat.

4.      Metode Geometris, Rene Descartes
Melalui analisis mengenai hal-hal kompleks di capai intiuisi akan hakikat-hakikat sederhana (ide terang dan berbeda dari yang lain), dari hakikat-hakikat itu di dedukasikan secara matematis segala pengertian lainnya.
Rene Descartes (1596-1650) adalah pelopor filsafat modern yang berusaha melepaskan dari pengaruh fisafat klasik. Dalam metodenya Descartes mengintegrasikan logika, analisa geometris dan aljabar dengan menghindari kelemahannya. Metode ini membuat kombinasi dari pemahaman intuitif akan pemecahan soal dan uraian analitis. Mengembalikan soal itu kehal yang telah diketahui tetapi akan menghasilkan pengetian baru.
Menurut Descartes semua kesatuan ilmu harus dikonsepsikan dan dikerjakan  oleh seorang diri saja. Koherensi yang tepat harus dating dari seseorang. Orang harus menemukan kebenaran sendiri. Mencari pemahaman dan keyakinan pribadi tidak harus mulai dengan kebenaran-kebenaran yang sudah diterima dari orang lain.
Descartes ingin mencari titik pangkal yang bersifat mutlak dari filsafat dengan menolak atau meragukan metode-metode dan pengetahuan lain secara prinsipel ia menghasilkan segala-galanya. Tapi keraguan ini adalah bersifat kritis.
Descartes banyak member pengaruh pada filsafat dan ilmu pengetahuan modern. Terutama usaha-usaha pembaharuannya, baik dalam pemikiran maupun metode ilmiah. Tapi juga banyak kritik ditujukan pada filsafat dan pembaharuannya. 
Descartes membangun kerangka berpikir dari ‘keraguan’ terhadap sesuatu, dari ‘keraguan’ terus berpikir logis menuju ke ‘kepastian’ untuk menemukan ‘keyakinan’ yang berada di balik keraguan itu, ketika keyakinan itu begitu jelas dan pasti (clear and distinct) akhirnya diperoleh ‘keyakinan yang sempurna, yang disebut truths of reason. Jadi, akal (reason) itulah basis (dasar) yang terpenting dalam berfilsafat. Filsafat Descartes ini disebut filsafat modern (modern philosophy). Tokoh atau filosof lain yang mendukung Descartes adalah Spinoza (1632-1677), Leibniz (1646-1716), dan Hobbes (Peursen,C.A. 1980; Tafsir, A. 2003). Metode rasional inilah yang nantinya menghasilkan aliran atau paham rasionalisme dalam studi filsafat.

5.      Metode Empiris (Thomas Hobbes & John Locke)
Empirisme adalah suatu doktrin filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan dan pengetahuan itu sendiri dan mengecilkan peran akal. Istilah empirisme diambil dari bahasa yunani empeiria yang berarti pengalaman. Sebagai suatu doktrin, empirisme adalah lawan rasionalisme. Akan tetapi tidak berarti bahwa rasionalisme ditolak sama sekali. Dapat dikatakan bahwa rasionalisme dipergunakan dalam kerangka empirisme, atau rasionalisme dilihat dalam bingkai empirisme
Orang pertama pada abad ke-17 yang mengikuti aliran empirisme di Inggris adalah Thomas Hobbes (1588-1679). Jika Bacon lebih berarti dalam bidang metode penelitian, maka Hobbes dalam bidang doktrin atau ajaran. Hobbes telah menyusun suatu sistem yang lengkap berdasar kepada empirisme secara konsekuen. Meskipun ia bertolak pada dasar-dasar empiris, namun ia menerima juga metode yang dipakai dalam ilmu alam yang bersifat matematis. Ia telah mempersatukan empirisme dengan rasionalisme matematis. Ia mempersatukan empirisme dengan rasionalisme dalam bentuk suatu filsafat materialistis yang konsekuen pada zaman modern.
Menurut Hobbes, filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan yang bersifat umum, sebab filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan tentang efek-efek atau akibat-akibat, atau tentang penampakan-panampakan yang kita peroleh dengan merasionalisasikan pengetahuan yang semula kita miliki dari sebab-sebabnya atau asalnya. Sasaran filsafat adalah fakta-fakta yang diamati untuk mencari sebab-sebabnya. Adapun alatnya adalah pengertian-pengertian yang diungkapkan dengan kata-kata yang menggambarkan fakta-fakta itu. Di dalam pengamatan disajikan fakta-fakta yang dikenal dalam bentuk pengertian-pengertian yang ada dalam kesadaran kita. Sasaran ini dihasilkan dengan perantaraan pengertian-pengertian; ruang, waktu, bilangan dan gerak yang diamati pada benda-benda yang bergerak. Menurut Hobbes, tidak semua yang diamati pada benda-benda itu adalah nyata, tetapi yang benar-benar nyata adalah gerak dari bagian-bagian kecil benda-benda itu. Segala gejala pada benda yang menunjukkan sifat benda itu ternyata hanya perasaan yang ada pada si pengamat saja. Segala yang ada ditentukan oleh sebab yang hukumnya sesuai dengan hukum ilmu pasti dan ilmu alam. Dunia adalah keseluruhan sebab akibat termasuk situasi kesadaran kita.
Sebagai penganut empirisme, pengenalan atau pengetahuan diperoleh melalui pengalaman. Pengalaman adalah awal dari segala pengetahuan, juga awal pengetahuan tentang asas-asas yang diperoleh dan diteguhkan oleh pengalaman. Segala pengetahuan diturunkan dari pengalaman. Dengan demikian, hanya pengalamanlah yang memberi jaminan kepastian.
Berbeda dengan kaum rasionalis, Hobbes memandang bahwa pengenalan dengan akal hanyalah mempunyai fungsi mekanis semata-mata. Ketika melakukan proses penjumlahan dan pengurangan misalnya, pengalaman dan akal yang mewujudkannya. Yang dimaksud dengan pengalaman adalah keseluruhan atau totalitas pengamatan yang disimpan dalam ingatan atau digabungkan dengan suatu pengharapan akan masa depan, sesuai dengan apa yang telah diamati pada masa lalu. Pengamatan inderawi terjadi karena gerak benda-benda di luar kita menyebabkan adanya suatu gerak di dalam indera kita. Gerak ini diteruskan ke otak kita kemudian ke jantung. Di dalam jantung timbul reaksi, yaitu suatu gerak dalam jurusan yang sebaliknya. Pengamatan yang sebenarnya terjadi pada awal gerak reaksi tadi.
Selanjutnya tradisi empiris diteruskan oleh John Locke (1632-1704) yang untuk pertama kali menerapkan metode empiris kepada persoalan-persoalan tentang pengenalan atau pengetahuan. Bagi Locke, yang terpenting adalah menguraikan cara manusia mengenal. Locke berusaha menggabungkan teori-teori empirisme seperti yang diajarkan Bacon dan Hobbes dengan ajaran rasionalisme Descartes. Usaha ini untuk memperkuat ajaran empirismenya. Ia menentang teori rasionalisme mengenai idea-idea dan asas-asas pertama yang dipandang sebagai bawaan manusia. Menurut dia, segala pengetahuan datang dari pengalaman dan tidak lebih dari itu. Peran akal adalah pasif pada waktu pengetahuan didapatkan. Oleh karena itu akal tidak melahirkan pengetahuan dari dirinya sendiri. Pada waktu manusia dilahirkan, akalnya merupakan sejenis buku catatan yang kosong (tabula rasa). Di dalam buku catatan itulah dicatat pengalaman-pangalaman inderawi. Seluruh pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan serta membandingkan ide-ide yang diperoleh dari penginderaan serta refleksi yang pertama dan sederhana.
Segala sesuatu berasal dari pengalaman inderawi, bukan budi (otak). Otak tak lebih dari sehelai kertas yang masih putih, baru melalui pengalamanlah kertas itu terisi atau yang kita kenal dengan istilah Tabula Rasa.
Tabula Rasa (dari bahasa Latin kertas kosong) merujuk pada pandangan epistemologi bahwa seorang manusia lahir tanpa isi mental bawaan, dengan kata lain "kosong", dan seluruh sumber pengetahuan diperoleh sedikit demi sedikit melalui pengalaman dan persepsi alat inderanya terhadap dunia di luar dirinya.
Gagasan mengenai teori ini banyak dipengaruhi oleh pendapat John Locke di abad 17. Dalam filosofi Locke, tabula rasa adalah teori bahwa pikiran (manusia) ketika lahir berupa "kertas kosong" tanpa aturan untuk memroses data, dan data yang ditambahkan serta aturan untuk memrosesnya dibentuk hanya oleh pengalaman alat inderanya. Pendapat ini merupakan inti dari empirisme Lockean. Anggapan Locke, tabula rasa berarti bahwa pikiran individu "kosong" saat lahir, dan juga ditekankan tentang kebebasan individu untuk mengisi jiwanya sendiri. Setiap individu bebas mendefinisikan isi dari karakternya - namun identitas dasarnya sebagai umat manusia tidak bisa ditukar. Dari asumsi tentang jiwa yang bebas dan ditentukan sendiri serta dikombinasikan dengan kodrat manusia inilah lahir doktrin Lockean tentang apa yang disebut alami.
Menurut Locke, pikiran bukanlah sesuatu yang pasif terhadap segala sesuatu yang datang dari luar. Beberapa aktifitas berlangsung dalam pikiran. Gagasan-gagasan yang datang dari indera tadi diolah dengan cara berpikir, bernalar, mempercayai, meragukan dan dengan demikian memunculkan apa yang dinamakannya dengan perenungan.
Locke menekankan bahwa satu-satunya yang dapat kita tangkap adalah penginderaan sederhana. Ketika kita makan apel misalnya, kita tidak merasakan seluruh apel itu dalam satu penginderaan saja. Sebenarnya, kita menerima serangkaian penginderaan sederhana, yaitu apel itu berwarna hijau, rasanya segar, baunya segar dan sebagainya. Setelah kita makan apel berkali-kali, kita akan berpikir bahwa kita sedang makan apel. Pemikiran kita tentang apel inilah yang kemudian disebut Locke sebagai gagasan yang rumit atau ia sebut dengan persepsi. Dengan demikian kita dapat mengatakan bahwa semua bahan dari pengetahuan kita tentang dunia didapatkan melalui penginderaan.
Ini berarti bahwa semua pengetahuan kita betapapun rumitnya, dapat dilacak kembali sampai kepada pengalaman-pengalaman inderawi yang pertama-tama yang dapat diibaratkan seperti atom-atom yang menyusun objek-objek material. Apa yang tidak dapat atau tidak perlu dilacak kembali seperti demikian itu bukanlah pengetahuan atau setidak-tidaknya bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal yang faktual.
Di tangan empirisme Locke, filsafat mengalami perubahan arah. Jika rasionalisme Descartes mengajarkan bahwa pengetahuan yang paling berharga tidak berasal dari pengalaman, maka menurut Locke, pengalamanlah yang menjadi dasar dari segala pengetahuan. Namun demikian, empirisme dihadapkan pada sebuah persoalan yang sampai begitu jauh belum bisa dipecahkan secara memuaskan oleh filsafat. Persoalannya adalah menunjukkan bagaimana kita mempunyai pengetahuan tentang sesuatu selain diri kita dan cara kerja pikiran itu sendiri.
Hanya pengalamanlah menyajikan pengertian benar, maka semua pengertian (ide-ide ) dalam intropeksi di bandingkan dengan cerapan-cerapan (impresi) dan kemudian di susun bersama secara geometris.

6.      Metode Transendental (Immanuel Kant & Neo Skolastik)
Immanuel Kant (1724-1804) dalam filsafat mengembangkan metode kritis transcendental. Kant berpikir tentang unsure-unsur mana dalam pemikiran manusia yang berasal dari pengalaman dan unsur-unsur mana yang terdapat dalam rasio manusia. Ia melawan dogmatisme.
Kant tidak mau mendasarkan pandangannya kepada pengertian-pengertian yang telah ada. Harus ada pertanggung jawaban secara kritis. Kant mempertanyakan bagaimana pengenalan objektif itu mungkin. Harus diketahui secara jelas syarat-syarat kemungkinan adanya pengenalan dan batas-batas pengenalan itu.
Metodenya merupakan analisa criteria logis mengenai titik pangkal. Ada pengertian tertentu yang objektif sebagai titik tolak.
Analisa tersebut dibedakan dalam beberapa macam:
-          Analisa psikologis. Analisa ini merupakan penelitian proses atau jalan kegiatan yang factual. Prinsipnya adalah mencari daya dan potensi yang berperanan. Kemudian memperhatikan peningkatan taraf kegiatan, inferensi, asosiasi, proses belajar, dsb.
-          Analisa logis. Meneliti hubungan antara unsur-unsur isi pengertian satu sama lain.
-          Analisa ontologis. Meneliti realitas subjek dan objek menurut adanya.
-          Analisa kriteriologis. Meneliti relasi formal antara kegiatan subjek sejauh ia mengartikan dan menilai hal tertentu.
Dalam metode Kant juga dipergunakan kergu-raguan. Kant meragukan kemungkinan dan kompetensi metafisik. Metafisik tidak pernah menemukan metode ilmiah yang pasti untuk memecahkan problemnya.
Kant menerima nilai objektif dari ilmu-ilmu positif karena mendatangkan kemajuan dalam hidup sehari-hari. Demikian juga tentang nilai objektif agama dan moral. Sebab mendatangkan kemajuan dan kebahagiaan. Karena itulah Kant menerima dan meneliti dasar-dasar yang bukan empiris, tetappi sintetis apriori.
Kant juga melakukan pembagian terhadap macam-macam pengertian
-          Pengertian analitis. Bentuknya selalu apriori seperti kita lihat dalam ilmu pasti. Dalam pengertian analitis prediket sudah termuat dalam konsep subjek. Tidak otomatis mengenai kenyataan dan tidak memberi pengertian baru.
-          Pengertian sintetis. Relasi subjek dan prediket berdasarkan objek riil.terjadi kesatuan dari hal-hal yang berbeda sehingga timbul pengertian yang baru.
Ada dua pengertian sintetis: apriori dan aposteriori. Sintetis apriori merupakan pengertian umum, universal dan pasti. Misalnya air mendidih pada suhu 100o C. sintetis aposteriori tidak bersifat universal. Misalnya saya merasa panas.
Filsafat Kant disebut kritisisme. Metodenya bersifat kritik. Dia mulai dengan terlebih dahulu menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio. Kant memang seorang pembaharu dengan kritik-kritiknya. Ia membawa perubahan-perubahan tertentu dalam filsafat. Kant memberi alternatif metode yang relevan.
Metode ini bertitik tolak dari tepatnya pengertian tertentu dengan jalan analisis di selidiki syarat-syarat apriori  bagi pengertian demikian.

7.      Metode Fenomenologis (Husserl)
Edmund Husserl (1859-1938) mengembaangkan metode fenomenologis dalam filsafat. Menurut Husserl dalam usaha kita mencapai hakekat –pengertian dalam aslinya- harus melalui proses reduksi. Reduksi adalah proses pembersihan atau penyaringan dimana objek harus disaring dari beberapa hal tambahannya. Obyek penyelidikan adalah fenomena. Dan yang kita cari adalah kekhasan hakekat yang berlaku bagi masing-masing fenomena. Fenomena adalah yang menampak. Yaitu data sejauh disadari dan sejauh masuk dalam pemahaman. Obyek justru dalam relasi dengan kesadaran. Jadi fenomena adalah yang menampakkan diri menurut adanya didalam diri manusia.
Fenomenologis mengadakan refleksi mengenai pengalaman langsung. Melakukan penerobosan untuk mencari pengertian sebenarnya atau yang hakiki. Kita harus menerobs gejala-gejalanya yang menampakkan diri sampai pada hakekat obyek. Jalan yang ditempuh adalah reduksi yang menurut Husserl ada tiga macam :
-          Reduksi fenomenologis, kita berupaya untuk mendapatkan fenomen dalam bentuk semurni-murninya. Cara yang ditempuh adalah dengan  jalan menyaring pengalaman-pengalaman kita. Obyek kita selidiki sejauh kita sadari. Kita pandang obyek menurut hubungannya dengan kesadaran. Mengenai fakta-fakta kita tidak melakukan refleksi.
Dalam proses ini ada segi-sehi yang sementara kita singkirkan. Ditempatkan diantara tanda kurung. Atau menurut istilah yang menurut Husserl –Einklamerung-. Segi-segi yang sementara disingkirkan ini adalah: pandangan adat, agama, pandangan umum dan ilmu pengetahuan. Kalau langkah-langkah tersebut berhasil kita akan bisa mengenal gejala dalam dirinya sendiri atau yang disebut fenomen.
-          Reduksi eidetis atau penilaian. Dalam proses ini kita akan melihat hakekat sesuatu atau pengertian sejatinya. Semua gejala kita tinjau lagi untuk membedakan mana yang intisari dan mana yang tidak. Yang kitacari adalah hakekat fenomenologis yang bersifat luas bukan arti umum, bukan arti yang tersembunyi. Bukan hakekat yang spesifik, tetapi struktur dasariah yang meliputi isi fundamental, sifat hakiki, relasi hakiki dengan kesadaran. Prosesnya mulai dengan titik tolak intuisi praprediktif. Digambarkan, diteliti, dan dianalisa dengan berdasarkan pengalaman pertama dan tekhniknya adalah :
a.       Kelengkapan, analisa harus melihat segala suatu yang ada dalam data secara eksplisit dan sadar. Dalam analisa harus kita temukan kembali unsur maupun segi dalam fenomena.
b.      Diskripsi, segala yang terlihat harus bisa diuraikan dalam analisa. Kita gambarkan satu-persatu semua unsur daro objek dan dibentangkan. Hubungan satu sama lain harus tergambar dan diketahui perbedaan-perbedaan pentingnya dalam penjelasan yang tuntas sehingga jelas aspek-aspeknya.
c.       Variasi Imajinasi, apakah sifat-sifat tertentu memang hakiki bisa ditentukan dengan mengubah contoh-contoh, menggambarkan contoh tertentu yang representatif. Misalnya manusia dengan panca inderanya. Sitambah dan dikurangi salah sau sifat. Hanya dengan tiga indera misalnya, apakah dia masih person. Apakah diskripsi itu masih mengenai macam objek yang sama seperti yang pertama.
d.      Kriterium Koherensi, kita dapat mengukur tepatnya analisa fenomenologis dengan kriterium koherensi ;
Pertama, harus ada kesesuaian antara subjek, objek intensional dan sifat-sifat. Observasi yang beturut-turut harus dapat disatukan dalam satu horizon yang konsisten. Kedua, harus ada koherensi dalam deretan kegiatan. Setiap observasi memberi harapan akan tindakan-tindakan yang sesuai dengan yang pertama atau yang melangsungkan. Harus ada kontinuitas diantara tindakan yang dapat dilakukan subjek.
Fenomenologis harus melakukan analisa internasional yaitu menjelaskan dan merumuskan horizon-horizon bagi tindakan-tindakan intensional tertentu. Hasil proses reduksi eidetis kita akan mencapai intuisi hakekat.
Ketiga, Reduksi Transendental. Reduksi Transendental ini adalah pengarahan ke subjek. Jadi fenomenologi itu diterapkan kepada subjeknya sendiri dan kepada perbuatannya. Kepastian akan kebenaran pengertian kita bisa peroleh dari pengalaman yang sadar yang disebut erlebnisse. Didalamnya kita bisa mengalami diri kita sendiri. Aku-kita selalu berhubungan dengan dunia benda diluar kita dalam situasi jassmaniah tertentu.

8.      Metode Dialektis (Hegel, Marx)
Metode yang dikembangkan oleh Hegel (George Wilhelm Friederich Hegel, 1770-1831) disebut metode dialektis. Disebut demikian sebab jalan untuk memahami kenyataan adalah dengan mengikuti gerakan fikiran atau konsep. Metode teori dan sistem tidak dapat dipisahkan karena saling menentukan dan keduanya sama dengan kenyataan pula.
Menurut Hegel, struktur didalam pikiran adalah sama dengan proses genetis dalam kenyataan. Dengan syarat kita mulai berfikir secara benar, kita akan memahami kenyataan sebab dinamika dinamika fikiran kita akan terbawa.
Dialektis terjadi dalam langkah-langkah yang dinamakan tesis-antitesis-sintesis. Diungkapkan dalam tiga langkah: dua pengertian yang bertentangan, kemudian dipertemukan dalam suatu kesimpulan. Implikasinya adalah dengan  cara kita menentukan titik tolaknya lebih dulu. Kita ambil suatu pengertian atau konsep yang jelas dan paling pasti. Misalnya konsep tentang keadilan, kebebasan, kebaikan, dsb. Konsep tersebut dirumuskan secara jelas, kemudian diterangkan secara mendasar. Dalam proses pemikiran ini konsep yang jelas dan terbatas ini akan cair dan terbuka. Menjadi titik tegas dan hilang keterbatasannya.
Kemudian pikiran akan dibawa dalam langkah kedua yang berupa pengingkaran. Konsep atau pemikiran pertama akan membawa konsep yang menjadi lawannya. Timbullah pengertian ekstrim yang lain. Terjadilah penyangkalan terhadap pengertian pertama :
ü  Kebebasan menimbulkan keharusan
ü  Ada menimbulkan tiada
ü  Absolute menimbulkan relative
ü  Aktif menimbulkan pasif.
Konsep yang muncul dalam langkah kedua inipun akan mengalami perlakuan yang sama dalam langkah pertama. Dijelaskan, diuraikan, diterangkan, dan diekstrimkan. Kemudian konsep ini akan terbuka dann menuju konsep ketiga. Langkah ketiga ini merupakan pemahaman baru. Berujud pengingkaran terhadap pengingkaran.  Jadi selau dinamik.
Menurut Hegel ada tahap mutlak yang harus dilalui untuk mencapai kebenaran yaitu kontradiksi-kontradiksi yang berfungsi sebagai motor dialektik.
Hegel menampilkan contoh tentang bentuk negara sebaimana disadur oleh Dr.K.Bertens dalam Ringkasan Sejarah Filasafat: bentuk Negara yang pertama adalah diktator. Hidup masyarakat diatu secara baik, tetapi warga Negara tidak mempunyai kebebasan, ini sebagai tesis. Antitesisnya keadaan berlawanan yang tampil yaitu anarki. Dalam bentuk Negara ini para warga Negara memiliki kebebasan tanpa batas dan hidup masyarakat jadi kacau.
Tesis dan antitesis ini akan bertemu dalam sintesis yaitu demokrasi konstitusional. Inilah sintesisnya. Dalam Negara yang  ketiga ini kehidupan masyarakat berjalan dengan baik, kebebasan para warga Negara dijamin, aturan yang baik sudah diciptakan, batas-batas konsitusional semakin jelas, warga Negara berada dalam batas undang-undang yang berlaku.
Ini adalah contih dari proses dialektis. Nampak dalam contoh ini tahapan-tahapan yang terdiri dari tiga fase. Ada tesis yang berhadapan dengan antitesisnya. Akhirnya didamaikan dalam sintesis dalam fase ketiga.

9.      Metode Nen-Positivistis
Kenyataan yang di pahami menurut hakikatnya dengan jalan mempergunakan aturan-aturan seperti berlaku pada ilmu pengetahuan positif (eksakta).
Non-positivisme adalah satu cara pandang open mind untuk mendapatkan keunikan informasi serta tidak untuk generalisasi, yang entry pouint pendekatannya berawal dari pemaknaan untuk menghasilkan teori dan bukan mencari pembenaran terhadap suatu teori ataupun menjelaskan suatu teori, dikarenakan kebenaran yang diperoleh ialah pemahaman terhadap teori yang dihasilkan. Untuk ini dalam non positivisme terdapat tiga hal penyikapan, yaitu:
Memusatkan perhatian pada interaksi antara actor dengan dunia nyata.
Actor manusia pelaku ekonomi maupun dunia ekonomi senyatanya perlu dipandang sebagai proses dinamis dan bukan sebagai sturktur yang statis.
Arti penting yang terkait dengan kemampuan actor pelaku ekonomi untuk menafsirkan kehidupan sosialnya.
Dalam interaksi sosial, non-positivistic mengakomodir perhatian pada kajian penjelasan aktor pelaku maupun cara cara penjelasannya dapat diterima atau ditolak oleh pihak lain.

10.  Metode Analitika Bahasa (Wittgenstein)
Menurut Ludwig Von Wittgenstein (1889-1951) filsafat adalah hanya merupakan metode Critique of Language. Analisa bahasa adalah metode netral. Tidak mengandaikan epistemology, metafisika, atau filsafat. Metode Wittgenstein mempunyai maksud positif dan negatif. Positif maksudnya bahasa sendirilah yang dijelaskan. Apakah memang dapat dikatakan dan bagaimanakah dapat dikatakan.
Segi positif diarahkan pada segi negatif dengan jalan poositif mempunyai efektherapeutis (penyembuhan) terhadap kekeliuran dan kekacauan. Dengan ditampakkan jalan bahasa dan diperlihatkan sumber-sumber salah paham, orang akan terbuka untuk melihat hal-hal menurut adanya.bukan dengan mengajukan teori-teori, tidak dengan menetapkan peraturan bahasa dan juga bukan dengan membuktikan kesalahan ucapan-ucapan yang dipersoalkan.
Untuk menganalisa makna bahasa, Wittgenstein mempergunakan teknik-teknik khusus. Wittgenstein membedakan bahasa dalam unit-unit paling dasariah : sesuatu tata bahasa dan susunan  logis.
Dalam bahasa struktur logis dan struktur tata bahasa sering menimbulkan kesulitan. Dua ucapan yang mempunyai struktur tata bahasa sama, bisa berbeda menurut struktur logisnya. Wittgenstein mencontohkan kata ‘is’ dalam bahasa inggris bisa berarti sama dengan, bisa berarti ada.
Konsep nyata dan konsep formal berbeda. Orang sering terdorong untuk memakai konsep formal. Seakan-akan itu konsep nyata. Hal ini mengacaukan. Konsep formal hanya merupakan suatu nama, harus diisi dengan konsep nyata.
Teknik kedua adalah usaha menentukan bahasa ideal. Bahasa itu bersifat tepat dan logis. Titik tolaknya atom-atom logis yang paling sederhana. Bahasa mempunyai unit-unit dasariah yang bisa dijelaskan menurut struktur yang tepat.
Wittgenstein tidak memisahkan bahasa natural dan bahasa ideal secara tegas. Dan ia memakai beberapa teknik logis yang khas untuk menentukan hubungan intern antara ucapan-ucapan. Ia menyusun suatu jenjang kemungkinan benar salah.
Menurut Wittgenstein batas bahasa juga merupakan batas dunia. Kita hanya bisa bicara mengenai hal-hal didalam dunia dan didalam pikiran. Tidak dapat keluar dari bahasa dan dunia. Hal-hal yang dapat dibicarakan dalam bahasa adalah apa yang nyata didalam dunia. Tidak mungkin bicara hal-hal metafisis, logika psikologi, metafisika dianggap tidak punya makna. Benar dan salah tidak bisa dipertimbangkan.